Wednesday, January 26, 2011

Designing for The Sun Chaser


ilustration

Mendesain tempat tinggal di atas tanah itu biasa. Mendesain tempat tinggal di atas air itu barulah luar biasa. Hehee..setidaknya itulah yang saya rasakan karena baru kali pertama studio kami mendesain yacht. Walaupun saya hanya tangan kedua dalam desain yacht ini, tapi saya “harus tau” bagaimana menciptakan interior kapal yang aman dan nyaman dihuni.

Kliennya adalah pasangan Bruce dan David. Awalnya mereka tinggal di sebuah apartemen di kawasan Central, Hong Kong. Berniat menjual apartemen mereka dan beralih tinggal di atas laut dan hidup nomaden. Kebayang nikmatnya pindah-pindah rumah setiap akhir minggu tanpa harus bongkar-pasang isi rumah, mau mancing tinggal duduk di pinggir teras belakang, makan malam di alam terbuka di tengah samudera, atau sekadar duduk malas-malasan di atas deck kapal.

Sayangnya kenikmatan itu hanya akan dirasakan oleh klien, sementara desainernya mesti putar otak bagaimana memenuhi permintaan klien untuk desain interior kapalnya. Badan kapal ini hasil rancangan dari “arsitek kapal” asal Thailand. Interior kapal terdiri dari 3 tingkat : tingkat paling atas roofdeck, bar, dan ruang kemudi, bagian tengah untuk dapur - ruang makan - dan ruang keluarga, sementara ruang paling bawah adalah kamar-kamar tidur dan toilet. Pertama kali mendapat proyek mendesain interior yacht, yang terpikir adalah “apa yang membedakan interior rumah dengan interior kapal?” Secara garis besar sih sama saja. Karena kapal ini akan dijadikan tempat tinggal, tentu kebutuhan rumah standar juga diterapkan di dalam kapal, seperti kamar tidur, ruang keluarga, kamar mandi, ruang makan, dapur, dan teras, kecuali garasi/ carport. Tambahan ruang antara lain ruang kemudi dan ruang mesin. Kapal ini memiliki 2 teras, 1 teras berada di bagian tengah kapal berhadapan langsung dengan ruang keluarga. Satu teras lagi berada di paling atas kapal dekat ruang kemudi. Teras terbuka ini dimanfaatkan sebagai tempat barbeque dan ruang duduk outdoor (sunbathing area).

Hal yang membedakan dengan interior rumah adalah pada detil-detil desainnya. Hal pertama yang harus diperhatikan dalam mendesain interior kapal adalah keamanan (safety). Karena kapal tidak pernah stabil alias selalu bergerak (walaupun kadang sangat minim untuk kapal-kapal besar) maka sudut-sudut runcing dalam disain dihindari. Terutama sudut meja dan tempat tidur dibuat melengkung. Di beberapa area terbuka bahkan dindingnya perlu dilapisi padded leather.Desain meja atau kitchen counter juga perlu perhatian ekstra. Pinggiran meja diberi pembatas setinggi kurang lebih 1cm sepanjang sisinya untuk menghindari benda-benda diatasnya tergeser dan jatuh. Exhaust hood yang biasanya terletak di atas kompor, diganti dengan exhaust set yang menempel pada dinding bawah kompor (mirip di teppanyaki itu lho). Lemari penyimpanan dibuat semaksimal mungkin. Furnitur-furnitur kecil yang mudah tergeser dibuatkan permanen atau sistem built in. Misalnya, kursi bar (stools) yang tinggi dibuat permanen. Lemari untuk menyimpan gelas atau botol beling harus ada pegangan khusus di dalamnya agar gelas tidak saling bertumbuk.

Masih banyak hal-hal baru yang akan saya temui dan mesti dipelajari dalam proses mendesain interior yacht ini. There’s nothing more fun than learning new things, rite guys?

Wednesday, April 28, 2010

Jangan cari amanya aja!


Beberapa hari yang lalu saya sempat membaca sebuah artikel dalam Kolom Kompas yang mengulas tentang “The Architecting, Proses Berpikir yang Menyimpang”. Menurut si penulis, "The Architecting" dalam dunia arsitektur adalah kemampuan berkreasi dan mengembangkan suatu ide -ide segar untuk menciptakan sesuatu yang bahkan "mustahil" untuk diwujudkan, dan hambatan -hambatan yang muncul, justru akan membuat kita semakin andal karena akan menemukan solusi yang selama ini selalu tidak pernah dijumpai.
Jujur saja, saya belum pernah mendengar kata The Architecting. Yang saya tahu, sebuah kata kerja yang diberi akhiran –ing dalam bahasa Inggris artinya menjadi kata kerja tersebut sedang dilakukan atau sedang berlangsung. Tapi jika kata benda atau sebuah jabatan/posisi yang diberi imbuhan –ing dalam bahasa Inggris, setahu saya akan menjadi sebuah sebuah kegiatan yang berhubungan dengan sifat benda itu atau jabatan/posisi yang dimaksud. Saya tak ada niatan mengajar bahasa Inggris, hanya sekadar menjabarkan betapa saya baru tahu ada kata Architecting. Mungkin saya yang gak gaul hehe..
Saya tergelitik dengan tulisan di Kompas ini. Mengapa? Karena pembahasannya yang menurut saya menarik mengenai proses berpikir seorang arsitek. Jaman kuliah dulu sering dengar tentang teori Black Box. Dari beberapa referensi yang saya baca, secara garis besar konsep berpikirnya kurang lebih sama dengan yang dimaksud oleh si penulis The Architecting ini. Dalam suatu kasus, jika kita berpikir di dalam black box, kita tidak akan pernah tahu apa yang sedang terjadi. Secara harafiah, kalo kita masuk kedalam sebuah kotak hitam nan gelap tentu kita hanya bisa meraba, bukan? Tidak yakin, ragu-ragu, tidak jelas, langkah yang tersendat-sendat, segala ketidakmungkinan terjadi di dalam kotak hitam itu. Namun, jika kita berpikir diluar black box dan ingin melihat apa yang ada di dalam atau membayangkan keadaan di dalam black box tadi, all we have to do is TO TRY! Menciptakan sesuatu, berkreasi, terus menggali ide-ide, dan terus mencoba sesuatu yang berbeda untuk melewati kotak hitam itu. Sehingga dari hasil akhir yang kita dapat, kita menerima sebuah pengalaman dan mulai menemukan solusi-solusi atas hambatan-hambatan (seperti yang disebutkan oleh penulis The Architecting). Yang lebih penting lagi kita sudah bisa membaca situasi apa yang terjadi di dalam kotak hitam itu.
Realitanya, sebagian arsitek dalam proses penciptaannya menemukan banyak hal yang menghambat kreasinya. Dan hambatan-hambatan itu terkadang juga merupakan faktor yang tak bisa diabaikan, harus dipertimbangkan dan merupakan bagian dari karakter hasil ciptaan sang arsitek. Sebut saja faktor iklim, sosial budaya, kepercayaan, sumber daya alam dan manusia, kondisi finansial, maupun peraturan setempat. Benturan-benturan yang ada kadang tidak bisa diabaikan begitu saja. Ego seorang arsitek harus mau diturunkan beberapa level untuk mengimbangi keadaan tersebut. Di Cina, beberapa klien saya sangat fanatik pada feng shui. Kemana-mana ia selalu membawa meteran feng shui. Meteran ini berbeda dengan meteran biasa karena ada angka-angka yang diberi tanda merah yang berarti baik. Semua ukuran yang saya buat haruslah sesuai dengan feng shui. Semua angka berakhiran 4 dihindari. Walhasil, ada bagian-bagian dalam rumah yang tidak proposional dan tidak selaras satu dengan lainnya. Lagi-lagi ego saya harus diredam untuk menyelami keinginan klien.
Saya ingat semasa kuliah, saat saya ingin sok-sokan nyleneh membuat sebuah bangunan, dosen pembimbing selalu melontarkan pertanyaan mengenai struktur dan keselarasan dengan lingkungan sekitar. Lagi-lagi saya harus mengerem emosi jiwa muda yang selalu ingin membuat bangunan yang ‘mustahil’. Berpikir kembali, merombak sana-sini yang pada akhirnya bangunan saya menjadi sangat biasa (karena cari amannya saja). Dan kebetulan, mencari aman dalam mendesain, nampaknya selalu didoktrin oleh salah seorang dosen saya. Mencari desain yang aman dan yang umum disukai, memang menjadi favorit bagi sebagian arsitek yang tak mau repot, tak mau susah, dan tak mau menggali lebih dalam. Pola berpikir selalu’aman’ akan menghambat proses kreatifitas.
Seandainya saja arsitek memiliki kebebasan berkereasi tanpa batas seperti yang dialami arsitek-arsitek Jepang. Masing-masing disiplin ilmu melakukan tugasnya masing-masing untuk men-support kinerja arsitek. Sehingga sang arsitek memiliki otorita penuh (dan bebas) dalam berkreasi. *A*