Friday, May 29, 2009

The Pathetic Four

Teringat lagi dengan novelnya Andrea Hirata yang membuat gw terpingkal-pingkal juga terenyuh. Berikut ini kutipan dari buku ketiga-Edensor. Cerita tentang Ikal dan Arai sewaktu kuliah di Sorbonne, Paris. Setiap membaca bagian ini, gw ketawa gak habis-habis. Bagi yang belum baca novelnya, keciaaannnn deh luuuu....hehe Gak ding. Bagi yang belum baca, bacalah segra wahai kawannn


***
……The Pathetic Four, empat makhluk menyedihkan, penghuni jejeran bangku paling depan. Jika dosen menjelaskan, mereka berulang kali bertanya soal remeh temeh, sampai menjengkelkan. Anak-anak ini melengkapi diri dengan perekam agar petuah dosen dapat diputar lagi di rumah. Norak dan repot sekali. Beginilah akibat penguasaan bahasa asing ilmiah yang memalukan dan efek gizi buruk masa balita. Jika ide mahasiswa negara lain demikian besar ingin mengubah Prancis, ide The Pathetic Four sangat sederhana, yaitu bagaimana agar dapat nilai passable yang cukup, lulus seadanya dengan nilai C, tak perlu mengulang, sehingga dapat menghabiskan waktu sejadi-jadinyamenonton bola.


***
....Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya, dan bangsa yang besar menurunkan sifatnya kepada warganya. Awal bulan, ketika baru menerima allowance beasiswa, MVRC Manooj dan Gonzales bertingkah laku seperti tak mengenal aku, Arai, dan Ninoch. Mereka melenggang dengan pakaian parlente, baunya wangi. Mereka tak sudi makan siang di kantin mahasiswa. Tapi hal itu hanya berlangsung sampai tanggal 15. Setelah itu mereka merengek-rengek minta diutangi untuk bisa hidup lima belas hari berikutnya. Tak jarang MVRC Manooj menggadaikan apa saja yang melekat di badannya. Awal bulan nanti ia akan kaya lagi dan kami akan berutang kepadanya. Gali lubang tutup lubang, mirip tabiat ibu pertiwi masing-masing

GELOMBANG BARU DALAM DESAIN TOILET


Toilet umum bukan sekadar sebuah ruang “belakang” yang aspek desainnya bisa kita abaikan begitu saja. Karena nyatanya, tak sedikit orang memanfaatkan toilet sebagai ruang “pelarian”, karena itulah mungkin toilet sering dituliskan dengan sebutan Restroom-ruang istirahat. Tentu istirahat bukan dalam arti tidur, tapi istirahat dari situasi yang membuat kita tidak rileks. Misalnya, dalam situasi kantor yang menegangkan, kita butuh ruang privat untuk sejenak menenangkan diri. Ke toiletlah kita pergi. Atau dalam situasi pertemuan membosankan di sebuah restoran. Ke toiletlah kita berlabuh. Jadi, tak melulu “urusan belakang” yang ditampung oleh ruang servis ini. Tapi juga urusan mempercantik diri, urusan menenangkan diri, bahkan urusan bergosip seperti dalam sitkom Sex And the City dan Ally McBeal. Karena itulah, toilet bisa menjadi tantangan tersendiri saat mendesainnya agar dapat mengakomodasi segala urusan-urusan di atas.

Desain sebuah toilet bisa menjadi sangat menarik jika si penciptanya memiliki daya kreasi tinggi yang integral dengan kemampuan strukturalnya. Hal yang paling dasar adalah bagaimana menciptakan toilet itu menarik, bersih,dan mudah perawatan. Sebuah toilet di Pacific Place Hong Kong bisa jadi referensi desain yang cocok. Bentuk denahnya yang melengkung menjadi satu tantangan khusus bagi sang desainer Thomas Heatherwick. Seorang arsitek Inggris yang super kreatif itu-menurut The Times newspaper-mendapatkan amanah untuk memotori rencana kontemporerisasi mal tersebut, dan toilet inilah salah satu hasilnya.

Denah ruang servis ini berbentuk tapal kuda. Bentuk U dibelah 2 menjadi toilet wanita dan pria. Pada salah satu ujung yang menghadap ke lorong menuju mal, terdapat ruang berbentuk silinder yang berfungsi sebagai sekat penghalang atau pintu abstrak bagi kedua toilet tersebut. Ruang silinder ini dipakai sebagai nursery room. Yang menarik dari desain toilet ini adalah pada repetisi bentuk lengkung sistematis atau sederhananya- bergelombang.

Konsep desain kontemporer dengan pendekatan organik menciptakan sebuah toilet yang elegan, natural, modern, bersih, dan tak membosankan. Pemilihan material utamanya cukup jeli. Hanya terdiri dari satu jenis kayu, lantai beton dengan penyelesaian waterproofing krem, dan dinding tembok serbaputih. Bentuk gelombang terbuat dari lapisan veneer kayu berurat horisontal dengan susunan rangka-rangka didalamnya yang membentuk lengkungan. Material kayu ini dibuat sedemikian rupa sehingga menerus tanpa terlihat sambungan kayunya. Nyleneh tapi unik. Material kayu dan warna coklatnya menciptakan kesan yang hangat, natural, dan elegan dalam desain toilet ini.


Kita tengok desain bilik-bilik toiletnya. Tak seperti standar desain pintu bilik pada umumnya yang memiliki kemiringan sudut 90 derajat terhadap dinding, pintu toilet ini memiliki sudut yang tajam mengarah ke dalam bilik. Engselnya bukan sembarangan engsel. Tak terlihat! Karena memang menyatu dengan bagian dinding dan pintunya. Bagian dinding dan pintunya menerus tanpa celah patahan (yang biasanya akan dipasang engsel fabrikasi). Engsel pintu begitu mekanis, elastis, layaknya lengan kita. Saat pintu kita buka kemudian melepaskannya, daun pintu akan segera menutup otomatis dikarenakan sudut lengkung itu. Bagian pintu dibuat sebersih mungkin, dalam artian tanpa aksen atau peranti lain yang ikut meramaikan permukaan pintu. Lalu bagaimana dengan pegangan pintunya? Sebuah kotak aluminium dibuat dengan sedikit celah pada bagian yang melekat pada bibir pintu. Celah selebar 2cm inilah yang digunakan untuk mengungkit pintu saat akan membukanya.

Di dalam bilik, kloset duduk dipilih yang bentuknya tanpa bagian penyangga bawah tetapi disangga pada bagian belakangnya. Serupa cantilever. Dibuat melayang seperti ini sehingga mudah perawatan. Sekaligus dari segi keindahan, efek cahayanya menjadi lebih sempurna. Perlengkapan toilet lainnya seperti tempat sampah dan tisu gulung dirancang serba tersembunyi.
Pada toilet pria, tersedia perangkat urinoir yang masing-masing sekatnya didesain melengkung. Area wastafel juga didesain dengan konsep yang sama. Wastafel, cermin, dan kotak tissue ditempatkan di celah antara 2 bentuk lengkung.

Hal lain yang cukup menarik adalah permainan cahaya. Lampu berbias putih ini ditempatkan tersembunyi di bagian belakang dari setiap bentuk lengkung dan dinding kayunya. Baik dinding wastafel, sekat urinoir, maupun pintu bilik memang sudah didesain melayang, kurang lebih 10 cm di atas permukaan lantai. Namun efek hidden light lebih menonjolkan karakter bentuk gelombangnya dan membuat kesan melayang lebih dramatis.

Bagi para pengguna toilet, desain toilet yang tak lumrah seperti ini akan merangsang otak untuk berfikir berbeda. Posistifnya, dorongan seperti ini akan membantu menstimulasi otak. Konon jika kedaaan ini sering dilakukan, niscaya akan mencegah penuaan dini pada otak. Semua yang serba monoton dan mudah ditebak tak akan merangsang syaraf-syaraf otak kita. Bayangkan betapa terbantunya otak kita jika banyak desain-desain baru dan inovatif seperti itu bermunculan di sekitar kita. (anis)

Friday, March 20, 2009

Size Does Matter


Kemarin habis dari HCL gue iseng-iseng mampir ke sebuah toko baju wholesale. Tokonya gak terlalu besar sih. Di bagian depan dan samping tokonya ada beberapa kotak kardus berisi gunungan baju-baju dari harga $5-$15. Bagian dalam toko memajang baju-baju yang lebih mahal. Interiornya gak diolah sama sekali, lebih mirip gudang baju.


Begitu masuk ke dalam, gue langsung tertarik sama koleksi rok-roknya. Gue telusuri satu per satu jajaran rok yang tergantung dipajangan di bagian tengah toko. Terus gue nemu ada 1 rok bermotif sulur marun-hitam. Lucu juga nih.
Gue ambil trus gue berdiri depan cermin disamping gw sambil membayangkan bagus enggaknya kalau gue pake.


“Is that for you?” sapa seorang pramuniaganya. Gue yang disapa sempat celingukan, kan belum tentu gue yang diajak ngomong. Begitu memastikan bahwa gue lawan bicaranya barulah gue jawab, “Yes, it’s for me.” Sambil tetap berdiri di depan cermin megangin rok bermotif sulur marun-hitam.


“That’s not your size” kata si pramuniaga.


“Yeah, I know” jawab gue males.
Melihat gue keukeuh megangin rok sambil mematut-matut di depan cermin mungkin si pramuniaga mikir gue gak ngerti omongannya.


“That is not your size!” Kalimat yang sama diulang dengan nada meninggi.



Gue balik badan, balikin roknya ke pajangan, bukan karena nada si pramuniaga yang meninggi, juga bukan karena ukuran rok itu gak cocok buat gue, tapi emang gue mau balikin aja. Emang roknya ternyata gak cocok buat gue karena terlalu rame coraknya dan terlalu girly.
Gue lanjutin acara memilih-milih roknya dan gue nemu model yang lain. Kembali gue ulangi aktifitas gue di depan cermin.


“That’s also not your size. We have size for you” si pramuniaga tadi nyamber lagi.


“I know…I just want to imagine this skirt ....on me” jawab gue mulai terganggu.


“This mirror is too small. Over there is longer mirror” sambil nunjuk ke belakang diagonal gue. Just so you know, this mirror in front of me doesn’t bother me at all. I don’t need longer mirror just to imagine the skirt.


Akhirnya gue balikin roknya ke tempat semula. Karena masih pengen liat-liat, jadilah gue sedikit bergeser ke tengah mendekati cermin panjang yang dimaksud pramuniaga itu, sambil terus memilah-milah rok di pajangan yang lain.


Eits! Ada yang lucu lagi nih. Begitu gue ambil… “Yes, that’s your size.” Buset deh, si pramuniaga ternyata melototin gerak-gerik gue mulu yah. Tapi gue cuekin. Gue langsung putar badan menghadap ke cermin sambil menempelkan roknya di pinggang gue.


“See… this mirror is longer than the last one.” Hadoh, ni cewek doyan banget komentar yah. She just can’t leave me alone!


Tarik napas panjang, berusaha tak terusik dengan komentar-komentarnya, tetap kalem…
“How much is this?” tanya gw sambil menyodorkan rok yang tadi gue coba.


“$180..” katanya


“Any discount?”


“Is this your first time coming here?”


“Yes..” Apa hubungannya pertama kali datang ke tokonya sama minta diskon?


“Well, this is a wholesale shop, Missy. No bargain.” jawabnya mulai sewot kelihatan dari mukanya .


“So, no discount for this skirt, huh?” namanya juga pembeli, usaha boleh dongggg.


“No discount for everything in this shop!” nadanya meninggi, mulutnya manyun, matanya ngeliatin gue dari atas sampe bawah. Kalau di komik, gambar si cewek ini pasti bergaris-garis compang-camping seperti dicakar.


Kenapa jadi marah? Namanya juga pembeli. Dan gue nawar juga lihat-lihat kondisi toko. Dengan kondisi toko seperti ini dan barang jualan yang begini, ya jelas aja gue tergerak untuk nawar dong. Maap maap aje ye..naluriah kok. Kalau gak ada diskon ya jawab aja nyante ’no discount, sorry’ kan beres gak pake menyandang senjata atau mengasah pisau segala kan. Ya udah, gue gak mau ba-bi-bu basa basi sok sok nawar atau apalah ke si pramuniaga ini. Gue balikin aja bajunya ke tempat semula.


Tapi gue gak berhenti disitu, gue teuteup nyari-nyari blus di pajangan samping cermin. Eh, sedang milah-milah T-shirt…tiba-tiba…
Pramuniaga: “Those all…not your size!”
Gue: Arrggghhhhhh…..$#^%$$$@%*^^$$.....sambil berlalu meninggalkan toko.
(Pernah dengar istilah “Pembeli Adalah Raja” gak, sih? Pernah belajar sopan santun gak sih?)

Wednesday, March 4, 2009

KEBANJIRAN IKAN


Kejadian bodoh. Beli ikan kebanyakan. Mau diapain coba?Gara-garanya pas di pasar, dengan keterbatasan bahasa kanton, gw sok-sok nanya harga. Biasanya gw kalo belanja mesti ke supermarket, karena gak pake acara telekomunikasi. Tinggal ambil trus bayar. Dan kalo ke pasar, biasanya gw ngerti apa yang diomongin si penjual, tp gak tau deh hari ini emang lagi bolot kayaknya.
Gw: "Bang, ini ikan berapa harganya?" Sambil nunjuk sekumpulan ikan. Ikannya udah diwadahin piring aluminium. Tiap-tiap piring kira-kira ada 10 ekor ikan (gw gak tau jenisnya)panjangnya kurang lebih 10-18cm.
Penjual:"......10$...20$...3.....mau gak?" Gw berusaha nangkep kalimat bahasa kantonnya yang panjang, namun apa daya yang ketangkep cuman 10 dolar, 20 dolar, dan 3. Gw kaga tau apakah itu 3 kilo, 3 ons, 3 biji, atau umur gw udah kepala 3 minggu lalu..hehe..Trus gw bengong. Mikir-mikir mau beli berapa yah.
Penjual:"Mau beli berapa?...10$...20$....banyak....10$....gimana?" Waduh, belom juga kelar mencerna kalimat dia sebelumnya, gw udah ditodong kalimat baru. Dan lagi-lagi cuman ketangkep beberapa kata (kali ini tanpa 3).
Gw:"Beli mmm..20$ deh" Tebak-tebak buah manggis, sapa tau beruntung.
Si penjual tampak sumringah. Ambil kantong plastik, trus soooorr....satu pring dituang ke dalam kantong. Sooorrr...piring kedua dituang. Loh? Loh? ... Dan sorrrr...piring ketiga. Looohhhh...kok? waks! aje gile gile aje! Banyak bener nih ikan. Mau protes gw bingung nyusun kalimatnya. Ya sutralah gw bayar juga dan serah terima kantong ikan. Berat juga ternyata.
Murah sih 20$ dapet 10 x 3 piring= 30 ekor ikan. Tapi mau diapain nih ikan? Punya restoran aja kaga. Apesnya lagi, setelah sampe di rumah, gw cek satu per satu ikannya, ternyata gak semua bagus. Ada yang masih segar, setengah seger, mati kemarin, dan mati setaon yang lalu. Sialan!

Monday, February 16, 2009

Seni Bongkar-Pasang pada Sebuah Ruang Pamer

Untuk menikmati koleksi benda-benda seni, terkadang kita perlu terbang ke suatu negara tertentu. Misalnya, untuk menikmati karya Jeff Koons kita harus pergi ke Museum Guggenheim Bilbao di Spanyol. Atau koleksi karya seni kontemporer milik Tate Modern Museum di London, Inggris. Berbeda dengan keadaan di atas, hasil kolaborasi antara arsitek Inggris kelahiran Bagdad, Zaha Hadid, dengan rumah mode Chanel, mencoba menghadirkan sebuah ruang pamer non-permanen yang memiliki mobilitas. Dalam makna global, obyek-obyek seni beserta wadahnya yang bepergian dari satu negara ke negara lainnya. Bukan manusianya yang mendatangi negara dimana museum itu berada.
Chanel Mobile Art, begitulah namanya. Ruang pamer ini akan berpindah-pindah tempat mulai tahun 2008 ini hingga 2010. Beruntunglah enam kota pusat mode dari enam negara yang disinggahinya, yaitu Hong Kong (Februari-April 2008), Tokyo (Mei-Juli 2008), New York (Oktober-November 2008), London (Mei 2009), Moskow (Oktober 2009), dan Paris (Januari-Februari 2010). Seperti halnya Museum Guggenheim di Bilbao, obyek pameran bukan hanya yang berada di dalam bangunan, tetapi bangunannya itu sendiri juga merupakan obyek seni yang layak diberi apresiasi. Arsitektur dan seni memang merupakan dua kata yang saling terkait. Bangunan non-permanen yang oleh Zaha Hadid disebut sebagai paviliun, merupakan obyek pameran yang nampaknya paling menarik minat pengunjung.


Dari atas ketinggian, paviliun ini terlihat seperti sebuah pesawat ruang angkasa. Bentuk yang membulat tak bersudut lancip dengan permukaan warna putih mengilat. Bagian atap paviliun memiliki rangka yang mekanik. Tujuannya untuk mengatur bentuk atap agar suhu dalam ruangan terkontrol, sebagai respon terhadap iklim dimana paviliun ini berada. Bagian tengah atap terdapat permukaan transparan sebagai skylight. Bentuknya mirip kelopak bunga tak beraturan. Skylight menerangi aula seluas 65 m2 di bawahnya. Paviliun ini tampak melayang karena terdapat celah antara landasan dan dinding eksterior yang melengkung. Pada celah tersebut ditempatkan hidden light yang menyala dikala malam tiba.


“The form is like a loop,” begitu yang dikatakan Hadid tentang bentuk arsitektur paviliunnya. Struktur ruang pamer ini merupakan repetisi bentuk lengkung, mirip tulang rusuk. Setiap elemen paviliun ukurannya tidak lebih dari 2,25m. Bentuk-bentuk yang rumit dan spesial dibuat tidak lebih tebal dari 3cm dan maksimum lebarnya 2,25m. Semua sistem strukturnya dapat dibongkar-pasang dan terdiri dari potongan-potongan tersistematis sehingga memudahkan pengemasan dan transportasi.


Rangka paviliun ditutup dengan sistem cladding dari panel-panel putih mengkilap dalam sistem modular sistematis. Bentuk yang berlapis-lapis dan bermodul ini menurut Hadid, terinspirasi dari tas quilted Chanel yang diluncurkan tahun 1955 dan kemudian menjadi populer hingga saat ini. Rangka dan panel dibuat sangat praktis, teratur, dan terukur. Untuk memasang struktur, diperlukan waktu sekitar 3-4 minggu lamanya. Sementara hanya diperlukan waktu 2 minggu untuk membongkar. Keseluruhan elemen bangunan itu terbagi dalam 700 komponen dengan total berat mencapai 180 ton. Lebar keseluruhan paviliun 29m dan panjang total 45m.


Untuk menuju pintu masuk atau pintu keluar paviliun, kita akan melewati sebuah teras yang luasnya 128m2. Ruang transisi inilah yang membagi dua massanya yaitu massa utama berbentuk oval dan massa yang lebih kecil berbentuk lengkung seperti tanda koma. Massa yang lebih kecil ini dipakai sebagai loket. Massa bangunan tampak begitu rendah dibanding bangunan-bangunan disekelilingnya. Tingginya hanya mencapai 6 meter, dengan lantai bangunan yang dinaikkan setinggi 1m. Walaupun rendah, namun paviliun ini tampak kontras dalam lingkungannya. Karena itu pemilihan lokasi menjadi hal yang penting. Lokasi paviliun selalu dipilih di ruang terbuka, seperti bekas tempat parkir di Hong Kong, Yoyogi Olympic Plaza di Tokyo, atau Central Park di New York. Ruang publik terbuka di tengah kota tersebut sangat mendukung bentuk massa yang begitu membumi ini.

Chanel Mobile Art menjadi terobosan baru sebuah ruang pamer yang sangat fungsional, praktis, elegan, dan dinamis. Bentuknya yang organik terasa begitu mengalir, luwes, dan bergerak. Bentuk massa oval tak simetris ini seolah-olah bergerak dan mengalir tanpa henti dari sudut ke sudut. Konsep bergerak dan mengalir juga diterapkan dalam layout ruang. Pintu masuk dan pintu keluarnya berada pada satu zona berdekatan, sehingga pengunjung di dalam ruang pamer akan diajak untuk bergerak berputar mengelilingi massa utamanya. Berpindah dari satu instalasi seni ke instalasi lainnya dan berakhir di aula tepat di bawah skylight. Setiap pengunjung dibekali sebuah alat audio tour untuk memandu penjelajahan obyek-obyek pameran. Sekitar 20 seniman kontemporer internasional ikut berpartisipasi dalam Chanel Mobile Art ini. Tak ketinggalan Zaha Hadid, yang berhasil menyuguhkan arsitektur sebagai sebuah karya seni bangunan kontemporer abad 21. (dwi.R)
Foto: Dwi.R

Wednesday, January 14, 2009

Rindu Kampus


Jam sudah menunjukkan angka 8 malam, padahal gue dan Dowel seharusnya sudah berada di City University Pok Fu Lam jam 7pm. Ada acara Open Lecture by Tadao Ando malam itu. Begitu turun dari taksi, melihat peta kampus sejenak, lalu kita bergegas masuk gerbang utama melewati anak tangga yang sangat menanjak! Saat membaca peta tadi, gue pikir banyaknya anak tangga yang kita lewati tidak disertai sudut kemiringan yang tajam. Nyatanya, gue berasa mendaki gunung hehe..tangganya gak habis-habis, terjal, plus berkelok-kelok melintasi sela-sela pepohonan rindang (aneh tapi nyata ada hutan di dalam kamus, jadi ingat UI tapi tanpa barisan tangga). Begitu sampai di lokasi, sudah diduga kalau gue gak bakalan dapat tempat duduk. Berdirilah kita bergerombol dengan grup telad-an(baca:yang pada telat). Hanya terdengar suara Ando berbahasa Jepang dengan suara si penterjemah berbahasa Inggris dari tempat gue berdiri. Ando membahas tentang proyek-proyeknya di Jepang.
Karena tak banyak yang bisa dilihat, jadilah gue mendengarkan kuliah sambil lirik sana-sini. Setelah gue telaah dan cermati(ceile..), mayoritas gaya mahasiswa disini, hmm..sedikit berbeda dengan gaya anak-anak kuliahan di Jakarta yang cenderung simpel (apalagi di jurusan gue, gaya busana kampus dibuat senyaman mungkin cenderung kurang fashionable :p ). Disini mereka berdandan modis, memakai busana diluar warna monokromatik, cenderung suka pernak-pernik, dan gaya rambut yang kadang buat gue terlalu berlebihan buat ukuran kampus. Tapi lucu juga buat dilihat-lihat.
Anak-anak kuliahnya tak hanya orang lokal, banyak juga gue lihat bule-bule tua dan muda (mungkin dosen dan mahasiswa), orang India, Timur Tengah, dan mungkin ada yang dari Vietnam, Indonesia, atau Thailand juga. Tapi kulit dan wajah mereka tak terlalu mencolok di antara orang-orang lokal, hanya bahasanya yang bisa gue tengari bahwa mereka bukan orang lokal.Tadi sebelum kita memasuki ruang kuliah ini, gue sempat melewati kantin kampusnya. Lumayan bersih dan stylish mirip resto kelas menengah (seperti Maxim atau Cafe de Coral). Eh! ada Park n Shop juga lho di sebelah kantin. Gak gede sih, tapi lumayan lah untuk mencukupi kebutuhan warga kampus dan anak kos.
Melihat suasana kampus begini, mahasiswanya, dan ritme aktifitas yang tipikal bikin gue jadi kangen kampus, teman-teman seperjuangan, suasana belajar mengajar dan mengejar kelas-kelas yang tertinggal. Hiruk pikuk di plaza, becanda gak jelas ujungnya, ccp-an (alakh!). Belum lagi makanan khas di kampus semisal siomay, batagor, nasi ayam-nya "Ah Sin", bakso, teh botol yang bisa "di-utang-in" hanya tinggal mengingatkan berapa jumlah botol teh yang sudah kita minum hari ini dan kemarin-kemarin, dan belum terbayar hehe...
Gerombolan orang-orang yang berdiri dan duduk sudah mulai berkurang, mereka mulai bosan rupanya. Lebih memilih pulang atau melanjutkan topik gosip dengan teman diluar kelas. Dunno! Nah, kesempatan gue untuk menyelinap masuk ke dalam kelas (yang ternyata mirip auditorium mini) dan duduk manis di lantai karpet. Dari sini gue baru sadar, ternyata suara Ando yang gue dengarkan sedari tadi bukan suaranya langsung(live). Melainkan dalam format video dan dipantulkan ke layar putih di dinding. Duh, kok berasa kayak nonton layar tancep ya?!