Tuesday, November 11, 2008

Suroboyoa-an

(Tips: Cerita ini mengambil lokasi di Surabaya. Jadi, saat membaca dialog, usahakan membacanya atau mengkhayalkannya dalam suara berlogat suroboyo-an kental,ya. Tersedia terjemahan bahasa Indonesia bagi yang tak mengerti bahasa Jawa)


Suatu hari Bunali jalan-jalan sore di gang komplek rumahnya. Sampai di depan rumah Kirun, Bunali berhenti melihat Kirun yang sedang menuangkan deterjen ke dalam baskom.

Bunali: " He, Run, lagek opo ko'en?" (Eh, Run 'gi ngapain luh?)
Kirun yang disapa, cuma menengok sebentar ke arah sumber suara lalu melanjutkan kegiatannya lagi. Kirun: " Aku arep umbah-umbah." (Gw mo nyuci neh)
Bunali:"Arep ngumbah opo awakmu sore-sore ngene, Run?" (Lo mo nyuci apaan sore-sore begini?)
Kirun:"Arep ngumbah kucingku." (Gw mo nyuci kucing gw)
Bunali sontak tertawa:"Wuahaha..gendeng ko'en arep ngumbah kucing. Kucing mbok umbah rinso yo mati, Run!" (Gila lu ye nyuci kucing. Kucing lu cuci pake rinso ya mati,Run)
Kirun yang diketawain keukeuh sumekeuh dengan apa yang dia lakukan "Gak, kok. Tonggoku ngumbah kucinge gak mati, kok!" (Kaga kok. Tetangga gw nyuci kucingnya kaga mati tuh)
Bunali:"Wis karepmu,Run. Titenono mengko lak mati kucingmu." (Terserah dah. Lu liat aja ntar kucing lu mati). Bunali trus melengos dan pergi meninggalkan Kirun yang masih sibuk mengisi air di baskom.

Keesokan harinya, Bunali penasaran dengan kejadian kemarin sore itu. Ia pun pergi mendatangi rumah Kirun dan mendapati Kirun sedang menggali tanah di taman depan rumahnya.

Bunali:"Run, piye kucingmu? Slamet tah?" (Run, pegimane kucing lu? Selamet kaga?)
Kirun:"Kucingku mati, Bun." (Kucing gw mati, Bun) sambil terus menggali tanah dengan sekop hijau. Ternyata Kirun mau bikin lubang untuk mengubur jasad kucingnya.
Bunali:"Marakno tah..wis tak kandani kucingmu mbok umbah rinso yo mati." (mangkanye...apa gw bilang, kucing lu cuci rinso ya mati)
Kirun:"Dhudhuk rinso sing mbarakno mati, Bun." (Bukan rinso yang bikin doi mati, Bun)
Bunali:"Lah opo sing mbarakno mati lho?" (Lah, apaan dong penyebabnye)
Kirun;"Kucingku mati mergo tak peres!" (Kucing gw mati karena gw peres)

Saturday, November 8, 2008

Yes We Can !


Tanggal 4 November 2008 menjadi hari yang ditunggu-tunggu oleh warga Amerika. Walaupun gw bukan bagian dari mereka, tapi gw juga jadi ikutan penasaran. Setelah masa penantian dan kampanye yang panjang, akhirnya kandidat partai Demokrat, Barack Obama, terpilih menjadi Presiden Amerika yang ke-44. Terpilihnya Obama sebagai presiden ini menjadikannya orang kulit hitam pertama yang memimpin Negeri Paman Sam. Obama berhasil menaklukan lawan politiknya John McCain dari Republik dengan skor 349 - 147. Seandainya saja dunia boleh ikut memilih. Skor Obama pasti akan sangat jauh meninggalkan McCain.
Eforia publik menyambut pidato kemenangan Obama sungguh luar biasa. Menurut sebuah situs, kerumunan warga Amerika yang membanjiri Chicago's Grant Park mencapai seperempat juta orang. Kulit putih, kulit hitam, tua-muda, gay-non gay, keturunan Asia, Latin, Hispanik, dan warga asli Amerika tumpah ruah merayakan perubahan besar itu. Sejarah baru bagi Amerika. YES WE CAN! Itulah slogan yang selalu dikumandangkan disela-sela pidato kemenangan Obama.
Kemenangan Obama ini pun ikut disyukuri oleh beberapa negara selain Amerika, antara lain Kenya, Jepang, Hong Kong, dan Jakarta. Bukan main ya efeknya sampai mendunia. Bagi Jakarta, terpilihnya Obama menjadi Presiden US menjadi kebanggan tersendiri karena seperti kita tahu ia sempat menghabiskan masa kecilnya di Menteng. Bahkan sekolah tempat Obama menuntut ilmu selama 2 tahun pun ikut heboh. Wah..wah..
Kapan ya Indonesia memiliki seorang pemimpin kharismatik dan intelek seperti Obama? Yang berkampanye dari nol, dari bukan siapa-siapa. Memulai pergerakannya dari sebuah ruang tamu kemudian berkampanye di teras dan halaman rumah. Dana yang didapat berawal dari sumbangan-sumbangan pribadi sebesar 10$, 20$, hingga akhirnya berjuta-juta dolar mengalir ke dalam dana kampanyenya dan pendukung yang memadati lapangan baseball saat kampanye Obama layaknya sebuah konser musik. Perjalanan menuju Gedung Putih juga tak mudah baginya. Ia harus bersaing ketat dengan lawan seniornya, Hillary Clinton. Berbeda dengan kubu Republik, yang saat itu lawan-lawan McCain mengundurkan diri membiarkan McCain maju bagi partainya, Obama harus berjuang terlebih dahulu mempertahankan idealisme dan strateginya. Terus berjuang dan tetap gigih, itulah yang terlihat dalam diri Obama. YES WE CAN!


Semoga kepemimpinan Obama nanti membawa perubahan yang lebih baik bagi Amerika dan tentu saja bagi dunia. Menjadikan Amerika negara yang lebih tepo seliro, tidak arogan, dan lebih bersahabat (terutama bagi warga Indonesia yang mau ke Amerika). Semoga juga krisis ekonomi segera teratasi karena yang krisis Amerika yang kena efeknya kita-kita juga tho.

Wednesday, August 6, 2008

Skak!


Suatu hari di toko Indonesia di Hong Kong. Seorang wanita setengah baya, rambut dikuncir ekor kuda, berkulit sawo matang, berwajah tipikal wanita Jawa Timur/Tengah, berpakaian layaknya ibu-ibu seumurannya. Pake rok berlipit sederhana warna coklat muda dan kaos ukuran L warna putih dengan gambar pemandangan di dadanya.


Di rak bagian paling belakang toko itu, ia mencari-cari permen asem. Ditelusurinya rak paling atas hingga ke tengah. Dan, Aha! Ia menemukan. Sebungkus plastik permen asem warna coklat bertabur gula putih.
Tapi wajahnya seketika berkerut, "Om, kok permen asemnya cuma ini?". Berteriak ke pemilik toko yang dipanggilnya'Om'. Si Om yang diteriakinya tak menggubris.
Lalu ia kembali menelusuri, kotak-kotak permen asem di rak tengah. Ia mengambil sekotak kuning permen asem berlabel 'Tamarina'. Saat ia mengamati kotak kuning itu, aku lewat disamping wanita itu. Aku memang mau ke rak sebelahnya.


"Permen asemku udah gak ada sekarang. Adanya yang beginian," katanya. Kaget juga aku saat seketika ia membalikkan badannya ke arahku. Tak disangka tak dinyana, tak mengharapkan ada perbincangan muncul, kok dia langsung mengajak aku ngobrol. Terpaksalah aku berhenti tepat di samping kirinya, pasang muka ramah, dan siap mendengarkan. Sambil memegang-megang kotak kuning berlabel Tamarina, ia meneruskan kalimatnya.


"Tapi gak papa juga sih aku beli permen asem ini. Ini enak juga, kok. Beda sama yang lain."

"Ohya? Emang apa bedanya? Permen asem kan sama enaknya." tanyaku basa basi. Cuma ingin lebih sopan, tak ingin dianggap sombong sesama bangsa sendiri di negeri orang.

"Beda, dong. Yang ini kan dari te kok ,ma..." nadanya ma yang panjang datar, selalu dipakai orang Hong Kong (atau imigran yang sudah lama tinggal di Hong Kong dan terbiasa menggunakan logat setempat) untuk menyatakan penegasan atau penekanan kalimat. Ma ini ditambahkan pada akhir kalimat, seperti dalam bahasa Indonesia -kan-. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, kurang lebih begini, "Lah kan dari te kok."

Berlanjut.


"Hah? Te kok? Apaan tuw te kok saya gak ngerti?" tanyaku dengan muka blo'on. Karena kata ini asing banget buatku. Istilah apa pula ini?

"Itu lho, negara Thailand...te kok...Thailand."

"Oh...thai guo..."

"Haiya...!"

Skak! Mampus!...Mate gw diterjang haiya...


(ternyata, te kok itu bahasa kantonisnya Thailand. Sementara yang biasa aku tahu adalah istilah Mandarinnya thai guo. Terdengar lebih mendayu-dayu , ma...hehe)

Tuesday, August 5, 2008

Life oh... life *sigh*


Pregnancy sometimes can be tricky like gambling, if I may say. I just wanted to explore something more than just a miracle of life. Are we lucky this time or are we not ? Are we putting enough bet to win the game? Are we bad player or good player? Or we’re just going to go all the way without considering to become a winner or loser. I don’t know which one I would choose. Coz I really don’t. Sometimes even if we don’t play right and the worst is, we don’t understand how to play the game, still we can win the game. Why? Coz we are lucky! Being lucky to be able to carry the living thing inside the womb all 9 months through. And being lucky to deliver the baby, alive! What if we are one of the unfortunate women? Who to blame?
Many doctors gave summary of the most possible causes of miscarriage. There are DNA problems, the health of woman’s reproductive organ, viruses such as HIV or HPV, TORCH, or even overweight can cause miscarriage. But obviously, all the possibilities are rejected by the fact that many women who have one of those causes are able to keep the baby until the day their babies are suppose to be born. And healthy as well.
Sometimes I just cannot understand how life starts and how it goes. Life and death are really mysterious. God’s time is really not ours. It’s not our business to know His time. No one will ever know when his/her time coming. And not a single mother knows when she becomes ‘the winner’. I admit, when I had miscarriage several times, I wish I could talk to God. If God was standing in front of me, I would have asked the very basic question, “Why God? Why?”


What annoy me is people who have negative thought. Some cynical people sometimes look at that problem as a curse. They make statement like, “Well, she deserves what she is experiencing now. Coz she did something wrong in the past.” They claim this woman to be a bad person. And in this case, a bad person is suppose to experience bad things too. Cynical people tend to find someone or something to blame for the things that don’t go right. That’s cynical, believing the worst of human nature and motives. Aside from the sins in the past, why don’t this cynical people think twice about what they are about to speak? Who are they to judge others?


We really do not understand God’s plan. Why can’t we just rely on God’s hand who gives us life? Why can’t we human just resign to His time? Just keep on believing, God will make everything beautiful in its time. And I do now.**

Saturday, July 26, 2008

MALING GAK NGAKU MALING



Sebagai Kepala Studio, aku harus melaporkan semua kejadian di dalam ruang studio ke bagian Personalia. Sudah 6 bulan ini, ruang studio sering kehilangan barang-barang berharga. Mulai dari kamera digital abu-abu, card reader, mouse, memory card, memory stick USB, meteran, sampai penggaris segitiga andalanku. Semuanya raib satu demi satu. Tak seorang pun di dalam studioku yang melihat perbuatan pencuri itu. Tapi aku sebagai kepala studio tahu sekali bagaimana karakter 10 orang anak buahku ini. Aku punya alasan untuk ‘menuduh’ salah satu diantara mereka. Tapi tuduhanku tak ingin aku umbar di depan mereka. Cukup aku diskusikan dengan Bu Sita, manajer personalia.

“Rin, kamu sendiri tahu, sejak konsultan ini berdiri hingga bulan-bulan kemarin, kita tak pernah kehilangan apa-apa yang berharga. Kalaupun ada yang hilang, paling cuma pensil atau penghapus. Tapi kali ini, barang-barang yang tak murah, lho,” keluh Bu Sita kepadaku saat kami berdiskusi di ruangannya.
“Saya juga bingung, Bu,” timpalku. “Saya pikir, kehilangan kamera adalah kejadian yang pertama dan terakhir di ruang studio. Eh nyatanya berlanjut dengan kehilangan-kehilangan berikutnya.” Aku menatap Bu Sita dengan pandangan menyelidik, ingin tahu solusi Bu Sita kali ini apa.
Tampaknya ia menyadari bahwa dirinya sedang kupelototin. “Tidak…tidak, Rin. Kali ini aku tak punya ide lagi, kalau itu yang sedang kamu harapkan dariku.” Ah…Bu Sita ini payah. Aku datang ke ruanganmu ini, tak ada lagi yang aku harapkan selain otak Sherlock Holmes-mu. Ide-ide Bu Sita menanggulangi tindak kejahatan di kantor cukup jitu. Mulai dari sistem tanda tangan bagi siapa saja, kecuali aku tentunya, yang hendak keluar kantor. Sistem ini ampuh membasmi acara kabur-kaburannya anak-anak di tengah jam kantor. Sistem absen dengan mesin amano juga jitu membersihkan korupsi-korupsi waktu lembur. Untuk masalah kehilangan barang-barang pun, Bu Sita kerap melancarkan trik-trik Sherlock Holmes-nya. Suatu kasus kehilangan pun telah berhasil dipecahkan. Kasus itu adalah hilangnya kemoceng si Aji, office boy kantor kita. Kemoceng bagi Aji adalah alat yang paling vital untuk pekerjaannya. Tiga hari Aji tak pernah membersihkan perabot kantor. Akhirnya, dengan bantuan Bu Sita juga, kemoceng Aji berhasil ditemukan. Pelakunya pun terungkap. Joni, teman seprofesi Aji, memang sudah lama menaruh dendam kesumat padanya. Joni sengaja menyembunyikan kemoceng Aji di atas rak buku.
Sayangnya, trik mengatasi kehilangan barang-barang di ruang studio kali ini, belum juga berhasil dipecahkan. Padahal, Bu Sita telah melancarkan segala kemampuannya. Mulai dari kunci ruangan studio, duplikat kunci di setiap laci meja pegawai, tanda tangan setiap meminjam barang-barang untuk kegiatan di luar kantor, sampai mendata semua alat tulis kantor yang dipegang oleh setiap orang.

Tak mungkin kan aku tidak mengandalkan Bu Sita. Karena aku sendiri tak mau mengatasi masalah ini sendiri. Di kepalaku sudah banyak hal-hal yang harus aku pikirkan. Proyek rumah di Kemang, bulan depan sudah masuk pekerjaan finishing. Proyek rumah di Permata Hijau dan Kebayoran Baru, harus segera aku siapkan gambar presentasinya, belum lagi pekerjaan-pekerjaan desain lainnya yang sedang berjalan. Semuanya harus aku atur sebelum keberangkatanku ke Palembang untuk supervisi proyek gedung perkantoran.
“Bu Sita, kira-kira apa yang sebaiknya saya lakukan?” tanyaku dengan penekanan.
“Rin, aku tahu bagaimana kamu menghadapi 10 orang anak buahmu. Kamu juga mengenal pribadi mereka masing-masing. Dan aku rasa, kamu sudah punya prediksi siapa yang melakukan perbuatan ini, kan. Kamu bantu aku….”
“Bantu apa, Bu,” sahutku memotong perkataan Bu Sita yang belum selesai. Aku berharap, bantuanku tidak berupa uang yang harus aku tebus sebagai tanda tanggung jawabku sebagai kepala studio.
“Begini…Menurut kamu, siapa yang kamu duga melakukan pencurian ini. “
“Mmm…sebenarnya ada 1 orang tersangkanya.”
“Siapa?” tanya Bu Sita sambil mencondongkan badannya mendekatiku. Raut wajahnya tampak begitu penasaran. “Kita sudah banyak kehilangan barang berharga properti kantor. Saya tidak ingin ada kehilangan-kehilangan berikutnya. Jika memang orang yang kamu tuduhkan terbukti bersalah, ia harus segera meninggalkan kantor. Ayo, Rin, kamu utarakan saja pandanganmu.”
“Saya tidak ingin menuduh. Tapi saya melihat, gerak-gerik satu anak buah saya ini begitu mencurigakan…… Anton, Bu Sita,” kataku sambil memandang gerakan mata Bu Sita. Aku ingin tahu reaksinya. Aku yakin ia tak menyangka orang yang aku tuduhkan itu adalah Anton. Kenapa? Ya, karena Anton adalah orang yang sangat sigap dalam menangani masalah desain. Ia juga orang yang paling bisa diandalkan karena memang ia pandai dan cepat menangkap instruksi yang diberikan kepadanya. Orangnya pun mudah bergaul dan banyak yang menyukainya. Bu Sita pasti terkejut, orang yang begitu bersih di matanya, ternyata menjadi tersangka.
“Oh…Anton?...Apa alasannya?” manajerku ini menimpali pernyataanku tanpa ekspresi. Tak kaget sama sekali. Melenceng dari dugaanku.
“Saat saya berada di kantor, saya sering memperhatikan gerak-geriknya, Bu. Dibanding anak-anak yang lain, Anton sangat protektif terhadap barang-barang yang ada di atas mejanya, baik itu milik pribadinya ataupun milik kantor. Setiap ia akan meninggalkan meja, ia selalu mengunci laci mejanya. Aneh, kan? Apa yang sebenarnya ia sembunyikan di dalam laci? Sebegitu berharganya hingga ia selalu mengunci laci bahkan saat ia hanya pergi ke toilet. Bisa jadi ia menyembunyikan barang-barang curian itu di dalam laci. Makanya, ia tak ingin orang lain mengetahui apa isi lacinya. Selain itu, saya ingat, tepat sehari sebelum kamera kantor hilang, ia sudah memperingatkan saya supaya kamera itu harus disimpan baik-baik. Kalau tidak, kemungkinan hilang itu selalu ada. Betul saja, kamera itu raib sebelum sempat saya simpan dalam lemari terkunci. Begitu juga memory stick USB dan card reader yang baru saja dibeli kantor. Ia adalah orang terakhir yang memakainya sebelum barang itu hilang. Dan yang lebih hebatnya lagi, ia baru saja beli ponsel baru P900. Ponsel itu tak murah, Bu. Dan ia beli itu setelah beberapa barang kita hilang. Saya menduga, barang-barang curian itu dijualnya dan kemudian uangnya dibelikan ponsel baru. Saya juga mendapat informasi dari Lely bahwa ia sudah lama menginginkan ponsel P900. Menurut Lely, saat itu Anton sedang mengumpulkan dana untuk membeli ponsel impiannya. Saya bisa percaya Lely karena ia duduk bersebelahan dengan Anton, dan ia paling sering berbicara dengan si tersangka. Tapi semua itu hanya analisa dan dugaan saya, Bu. Selebihnya saya serahkan pada Bu Sita.”
Bu Sita mendengarkan penuturanku dengan seksama. Mungkin terlalu serius untuk ukuran menanggapi sebuah praduga tak bersalah. Ah…bagiku tetap saja ‘praduga pasti bersalah’. Aku sudah mencium gelagat buruk si Anton itu. Sebenarnya ia orang baik dan hebat, tapi aku tetap tak suka dengan perilakunya. Mungkin karena ia terlalu pandai hingga kadang tingkahnya aneh dan menyebalkan di mataku. Apalagi sejak semua kejadian kehilangan di kantor ini. Gerak-geriknya membuatku kesal dan makin curiga padanya.
“Oke. Saya mendengar semua alasanmu itu memang masuk akal dan logis. Masalahnya cuma satu, tak ada seorang pun yang melihat perbuatannya saat beraksi. Jadi alangkah baiknya jika Anton aku panggil kemari setelah…..”
“Bu! Tak ada seorang maling pun yang mengakui dirinya maling,” tangkasku
“Iya..iya..aku tahu. Tadi aku belum selesai bicara sudah kamu potong. Aku akan memanggilnya setelah kamu interogasi setiap anak buahmu. Kamu selidiki, kira-kira siapa dugaan terbesar dari anak buahmu. Dan kamu harus bersikap netral. Walaupun saat menginterogasi Anton, si tersangka. Dan kamu pelajari bagaimana menurut pendapat anak buahmu mengenai kejadian ini.”
“Oke, Bu. Tak masalah.”
“ Ingat! Kamu harus selesaikan acara interogasimu itu sebelum keberangkatanmu ke Palembang. Aku ingin Anton datang padaku juga sebelum kamu berangkat. Aku tak ingin sepeninggalmu, terjadi kehilangan lainnya. Apalagi kita baru beli 2 laptop baru. Secepatnya, orang yang melakukan semua ini harus diberhentikan. Oke, Rina?”
“Baik, Bu. Saya akan bergerak cepat.”

* * *

Menginterogasi 10 orang anak buahku bukan hal yang mudah. Perlu waktu 4 hari untuk menanyai satu per satu. Mengorek-korek isi kepala dan hati setiap anak di ruanganku. Aku jadi makin memahami karakter mereka. Mereka semua punya karakter yang spesifik. Andi, arsitek paling muda di kantorku. Jawaban-jawaban yang dilontarkan dari pertanyaanku sungguh menggelikan. Semua ditanggapinya dengan khayalannya sendiri. Menyangkutpautkan Joni dan Aji. Mereka mungkin gemas dengan perilaku anak-anak di ruang studio yang selalu menempelkan kotoran hidung di pinggiran meja. Hal itu membuat kedua office boy itu jijik. Tapi mereka tetap harus membersihkannya karena itulah resiko pekerjaan. Andi menduga, Aji dan Joni pasti menyembunyikan barang-barang yang hilang itu di suatu tempat, sampai anak-anak studio mau mengubah perilaku joroknya itu. Khayalan Andi tentu saja tak masuk perhitunganku.
Jenar, gadis mungil yang sering jadi bulan-bulanan di ruang studio. Dianggap adik bungsu karena kepolosannya dan keluguannya. Kepolosannya itu membuahkan kesulitan bagiku saat menginterogasinya. Belum selesai aku bertanya-tanya, ia sudah menangis sesenggukan.”Sungguh Mbak Rina, aku tuh gak tahu masalah-masalah begini…heks..heks.. Lagian kenapa mesti menuduh aku sih, Mbak..heks..hheks…Aku mau pinjam penghapus mbak saja pasti aku bakalan bilang-bilang…masak sih kepikiran mencuri...heks..hekss..” Aduh, aku menyerah deh menghadapi Jenar. Kapan sih aku melontarkan kata-kata tuduhan pada anak selugu Jenar ini.
Saat menginterogasi Anton, di dalam hatiku, semua jawabannya kutolak mentah-mentah. Semua tindakannya seperti mengunci laci dan menjaga setiap barang di mejanya, ia jelaskan sebagai alasan preventif. Ia bilang, ia harus lebih bertanggung jawab atas setiap barang yang dipercayakan kepadanya. Sumber dana ponsel P900 yang dibelinya tak terungkap. Ia hanya bilang barang itu dibeli dari hasil usahanya selama berbulan-bulan.
Tak masuk akal. Tak logis. Tak bisa meyakinkanku. Itulah jawaban yang kuperoleh darinya. Hal ini semakin menguatkan posisinya sebagai tersangka utama. Pemikiran dan dugaan sebagian besar anak buahku pun makin menguatkan tuduhanku. Setelah aku pancing-pancing dan aku paparkan fakta tentang Anton, rata-rata mereka pun menudingnya sebagai tersangka kasus pencurian di ruang studio.
Hasil interogasi aku laporkan ke Bu Sita. “Jadi begitulah kira-kira, Bu. Selanjutnya silahkan ibu pertimbangkan,” kataku mengakhiri paparan hasil interogasi.
“Oke, sekarang, panggil Anton kemari. Aku mau bicara empat mata dengannya. Karena besok sore kamu berangkat ke Palembang, malam ini aku akan jelaskan keputusanku padamu, Rin.”
Entah apa yang sedang Bu Sita dan Anton bicarakan saat di dalam ruangan tertutup itu. Yang aku tangkap hanyalah gambaran wajah Anton yang sedang geram. Aku meninggalkan ruang manajer personalia. Aku kembali masuk ke ruang studio untuk mengatur segala sesuatunya sebelum aku berangkat esok.
Tepat pukul 7 malam, Bu Sita memanggilku ke ruangannya.”Rina. Aku rasa kamu bisa bekerja dengan 9 orang lainnya di ruang studio, kan.” Hah?! Aku kaget mendengarnya. Apakah artinya Anton dipecat? Tapi aku memilih diam saja daripada mengomentari perkataan Bu Sita. “Anton mulai besok sudah tak bekerja di kantor kita. Jawaban Anton tak dapat dipegang. Dan ia tampak sangat temperamental. Aku tak tahu apakah itu suatu tindakan difensif atau apa. Ia membantah semua perkataanku. Lebih baik aku mempekerjakan orang yang jujur dan tidak berbelit-belit. Aku harap, masalah kehilangan barang di ruang studio selesai sampai disini.”

* * *

Jam 11 malam aku masih merapikan baju-baju yang akan aku bawa ke Palembang. Celana panjang krem harus aku bawa. Celana ini adalah celana wajib pakai saat aku di proyek. Sambil melipatnya, aku sesekali memandang barang-barang di atas meja belajarku. Kamera digital abu-abu, mouse, memory stick USB, card reader, meteran, dan penggaris segitiga andalanku. Tak ada rasa penyesalan di hatiku atas barang-barang itu semua. Yang ada hanya rasa lega, bahagia, dan menang karena Anton sudah berhasil aku singkirkan. Setelah 6 bulan aku cari cara untuk mendepak Anton dari ruang studioku. Ia terlalu cerdas dan terlalu pandai bergaul. Posisiku sebagai kepala studio akan terancam dengan keberadaannya. Aku sudah lama menjadi kepala studio di konsultan ini. Aku tak ingin Prinsipal Arsitek yang sekaligus pemilik biro konsultan ini melihat kemampuan Anton yang lebih daripada aku. Aku tak ingin ia menggantikan posisiku. Aku suka menjadi kepala studio saja. Entah sampai kapan. Aku ingin tetap menjadi seperti sekarang. Aku punya akses bebas keluar-masuk kantor tanpa surat ijin. Aku juga bebas memakai fasilitas kantor tanpa orang protes atau curiga padaku. Aku bisa jalan-jalan keliling Indonesia, gratis! Seperti besok aku akan pergi ke Palembang. Sudah lama aku ingin mencicipi empek-empek Palembang asli.Aku akan melakukan apa saja demi posisiku ini. Apapun! Walau orang menganggapku gila sekalipun. *

Monday, February 25, 2008

Delicious Baso from Jalan C Kebon Jeruk



Apa sih yang kita cari dalam hidup?? salah satunya tentu kenikmatan...
Kenikmatan kecil berhasil saya dapatkan saat melancong ke jalan C di Kebon Jeruk.. Dari seorang rekan yang senang bakmi saya dapatkan info bahwa disana ada bakso yang sambalnya macam-macam dan rasanya lezat.

Tak salah lagi informasi yang saya terima. Tempatnya berada di rumah (baru pindah ke rumah ini setelah sebelumnya berjualan di sisi jalan--kakilima--),banyak orang yang datang. Kebanyakan saya lihat adalah remaja dan pasangan muda. Menempati rumah 2 lantai yang lantai bawahnya dipakai sebagai area jualan dan lantai atasnya untuk tempat tinggal. Lantai bawah bisa menampung 12 meja makan dengan 4kursi. Berarti kalo penuh sekali putaran bisa menampng 36 orang (misal dengan rata-rata 1 meja diisi 3 orang). Pemiliknya seorang warga keturunan Tionghoa yang sepertinya sangat menikmati bisnis ini, terlihat saat saya berkunjung sedang telaten mengajarkan anaknya melayani pesanan tamu. Tak salah Baso ini kualitasnya tetap terjaga.

Harganya mulai dari Rp6000(mie ayam polos)-Rp12.000(mie ayam pangsit-spesial). sambel-sambel pastinya gratis. Ada sambel acar cabe, Ada sambel lobak, dan sambel standar dari cabe merah kering. Sensasi lada terdahsyat saya rasakan saat mencoba sambel acar cabe. Hati-hati dengan sambal ini. satu sendok kecil saja bisa membuat mata menangis!
Ada lagi "asesoris" bakmi jalan C ini. Tongcai (wortel kering) yang lezat dan asin, bisa menjadi pengganti rempah-rempah seperti seledri. Oiya, ada satu hal yang membuat saya merekomendasikan tempat ini. Basonya sepertinya tak menggunakan msg, dengan rempah asli cina yang cukup sehat untuk kesehatan otak ...hehehe

Hal lain yang bisa menjadikan ciri khas mi bakso ini adalah rasa siomaynya yang aduhai...enak...rasa ikan nya keluar dan tak kalah dengan adonan siomaynya. skali telan tanpa dikunyah saja tetap berasa ikannya. Rekomendasi saya jatuh pada bakmi siomay ini.

Kalo mencari kelemahannya, mungkin hanya sedikit saja. Suasana yang lumayan rame itu tidak didukung oleh pernak-pernik interior yang bikin ruangan menjadi manis. Ya, ruangannya terlalu datar untuk bakmi dengan rasa semurni ini.Harusnya ada pot-pot kembang atau mungkin pernak-pernik informasi yang menjadikan tempatnya sedikit hangat.
Untuk rasa, saya rasa bakso ini sudah cukup matang untuk dijadikan ikon makanan lezat dari Kebon Jeruk. bravo baso jakarta!!!

Sepatu-sepatu Ajaib

Di tengah fasilitas yang serba modern di Guangzhou (Cina), masih banyak hal-hal bodoh yang dilakukan orang lokal. Gw bingung, apakah perkembangan kotanya terlalu cepat sehingga perilaku penduduknya belum bisa mengikuti perkembangan yang serba modern dan teratur itu? Konon kan tiap tahun di Cina, pasti selalu ada perubahan. Percepatan itu tidak disertai dengan percepatan 'behaviour' penduduknya. Ataukah, memang perilaku mereka sudah mendarah daging hingga tak mungkin diubah, bagaimana pun modernnya kota ini.

Suatu hari, gw pergi ke pusat grosir sepatu di Haizhu Guang Zhang. Sepanjang jalan utama hingga gang-gang kecil penuh dengan toko-toko sepatu buatan Cina. Modelnya lumayan up to date. Dari yang asli sampe yang contekan. Trus, di salah satu toko gw naksir nih sama salah satu sepatu kulit. Gw pengen banget beli. "Mbak, sepatu ini harganya berapa?" tanya gw (tentu dalam bahasa Mandarin laaa....plisss deee...).
"Kalo beli cuman sepasang harganya 265RMB," kata si mbak penjaga toko. Harap diketahui bahwa di toko itu ada 4 orang penjaga toko. Dan gw satu-satunya pembeli di toko itu.
"Bisa lebih murah gak, nih?"tanya gw sambil megang-megang sepatunya.
"Kalo lo suka, gw kasih 260RMB, deh," jawabnya.
"Modelnya sih gw suka, tapi gw gak tau enak dipake ato gak."
"Pasti enak dipake lah, itu kan kulit,"
"Ya udah gw coba dulu deh nomer 39. Kalo nyaman , pasti gw beli."
"Lo pastiin dulu mau beli gak?"
"Ya, lo kasih gw ukuran 39 dulu dong. Gw coba dulu, kalo enak ya gw beli. Kalo gak nyaman ya gak beli lah."
"Wah gak bisa gitu, lo kalo mo nyoba sepatunya mesti beli dulu. Soalnya gudang kita jauh."jawabnya dengan nada ngotot. Lah, emang gw pikiran gudang lo jauh ato deket. Yang gw mau adalah nyobain sepatunya dulu lah sebelum beli. Tul, gak?
"Lah, trus gw harus beli sebelum nyoba sepatunya gitu? Kalo gak enak dipake gimana?" gw jg ikutan ngotot.
"Pasti enak lah. Gak mungkin kulit gak nyaman. Kalo lo pasti beli, baru gw ambilin nomer 39." Lah bisa gitu ya! Di ujung berung juga orang beli sepatu mesti nyoba dulu. Kalo enak ya pasti beli lah. Gw mulai gemes dengan cara berpikir mereka. Eh..di tengah-tengah perdebatan kami, tiba-tiba seorang cewek ikut-ikutan, berlagak seperti pahlawan.
"Mbak, gini deh, gw bantuin lo nyobain sepatunya buat lo." kata si cewek yang lebih mungil daripada gw. Hah?! gw kaget. Nih orang bodoh atau goblok sih.
"Hah? lo mo bantuin gw nyobain? Emangnya bisa gitu? emangnya lo tuh gw gitu?"sahut gw dengan nada kesel dan gemes.
"Bisa aja. Gw bisa cobain. tar gw kasih tau lo, nyaman ato gak nyaman. Gak usah kawatir, gw bukan orang dalem, gw ini jg pembeli kayak lo," kata cewek itu tak bersalah. Cuplis! Berlagak mo jadi pahlawan tapi bodoh juga. Mana mungkin kan nyoba sepatu diwakilin ma orang? Emangnya kaki gw sama gitu sama kaki dia? Yang awalnya gw pengen banget beli sepatu itu, akirnya gw jadi il-fil dan gak pengen lagi beli sepatu. Gw keluar toko dengan mengumpat-umpat(persis seperti org lokal kalo lg marah-marah. Ups! Apakah gw sekarang udah sama kayak mereka ya? hmmm...).

Cerita lain adalah cerita dari temen gw. Temen gw ini baru jalan-jalan dari pulau Hainan di selatan Mainland Cina. Sepulang dari liburan, temen gw langsung ke rumah dan kita sarapan bareng. Dia cerita tentang kelakuan orang lokal yang disebutnya 'silly'. Temen gw duduk di first class dalam pesawat. Kemudian ada seorang ibu masuk ke first class. Lalu seorang pramugari menegurnya supaya ibu itu kembali ke kabin yang sesuai dengan tiketnya. Setelah cari tahu, ternyata ibu itu adalah penumpang economy class. Karena dia melihat di first class banyak kursi kosong, lalu ia seenaknya pindah ke tempat yang lebih nyaman.
Setelah pramugari mengingatkan ibu itu untuk kembali ke tempat duduk semula, ternyata si ibu itu kembali datang ke first class. Dan ada pramugari yang menegurnya lagi. Dan kejadian itu terus berlangsung, datang-ditegur-kembali ke belakang-datang lagi ke first class-ditegur-kembali ke belakang-dst.

Kejadian kayak gitu tak hanya terjadi di pesawat, lah wong di kereta aja orang bisa seenaknya duduk. Reputasi ini sudah lama melekat di dunia perkereta apian disini. Sekali gw beli tiket, walaopun sudah tertera nomer tempat duduk, tapi gw masih gak yakin apakah gw akan duduk di nomer yang tertulis ini atao tidak. Bisa jadi, kita akan terlempar hingga barisan kursi ke 4 atao lebih dari nomor kursi kita yang sebenarnya. Di Indonesia, mungkin saja kejadian ini terjadi. Tapi setidaknya, di Indonesia jika kita bepergian berpasangan atau berkelompok, kita masih bisa memesan tiket kereta dengan nomor berdampingan atau bersebelahan. Di Cina sini, jangan harap semudah itu. Nomer tempat duduk bukan jaminan kita mendapatkan nomer yang sama di dalam kereta. Masih untung gak kelempar ke gerbong sebelah hahaa...

Masih banyak lagi kejadian-kejadian silly yang terjadi disini. Mungkinkah perkembangan kota dapat diserati dengan perkembangan perilaku penduduknya yang lebih baik? Bagaimana caranya? Gw rasa semua berbalik ke diri kita sendiri. Mulai dari diri sendiri aja kali ya. Gw sih berharap ada 10.000 orang berpikiran demikian.
Seperti kata Bung Karno, "Saya hanya butuh 5 orang pandai untuk membangun negara dibanding 1000 orang bodoh." Hmm...which one i am part of, 5 or 1000?

BBQ di rumah





Disebabkan kerinduan makanan Indonesia, akhirnya gw ama suami bikin acara BBQ sendiri di rumah. Di Guangzhou, acara BBQ merupakan acara yang special. Biasa diadakan di lokasi outdoor(khusus BBQ-ing)dan umumnya BBQ dilakukan beramai-ramai. Bareng ama temen-temen atau keluarga. Pokoknya, BBQ-ing disini, bukan sesuatu yang biasa. Kebalikannya, bagi orang Indo, at least buat keluarga gw deh, BBQ bukan sesuatu yang special. Bikin ayam bakar gak harus ngumpulin orang se-erte. Cukup nyokap gw sendiri yang ngebumbuin, trus nyuruh pembokat bakarin di taman. Begitu jadi, siapin aja di meja makan buat lauk makan siang/malam. Mau cumi bakar juga tinggal pergi ke kantin belakang Plaza Senayan, udah deh. Gak spesial, gak aneh-aneh. Tapi acara gw ini, teuteup dipandang aneh bagi orang Cina disini.
Maju tak gentar! Kita tetep melangsungkan acara BBQ di rumah. Dah gak inget lagi waktu dan capek. Pokoknya pengen makan ayam bakar. Jadilah malam itu, jam 10 malem sodara-sodara!, kita belanja ke supermarket beli paha ayam, ikan kuning, jagung, ama terong. Sampe di rumah udah jam 11 kurang. Sementara gw meracik bumbu, suami merakit alat BBQ-nya.
Gak ada bumbu special buat bikin 'ayam bakar indonesia' ini. Gw cuman maen feeling doang: bawang merah,bawang putih,kemiri,margarin cair: gw blender jadi satu. Gw jg siapin kecap manis cap Bango 'asli dari Jakarta' neh. Bumbu dan siap, alat panggang jg dah siap, mulai deh gw bakar-bakar. Kita disini gak punya private garden. jadi kita pilih BBQ-ing di dapur dekat teras. Gw bisa manfaatin exhaust fan di atas kompor buat nyedot asap.
Karena di Guuangzhou gw gak nemuin minyak tanah kayak di Indo, jadinya kita inisiatip pake kertas koran aja. Logikanya, koran terbakar, arang pun membara. Prakteknya, JANGAN PERNAH BAKAR AYAM DENGAN KERTAS KORAN. Hahaha...so silly. Kertas yang terbakar membuat serpihan-serpihan abu yang 'ganggu banget'. Selagi dikipas-kipasin, abunya kertas beterbangan dan nempel di permukaan ayam. Yakkkss....makan ayam bakar plus koran. Kesibukan bakar ayam teralih menjadi sibuk menyingkirkan abu-abunya kertas.
Asap juga bikin kita terganggu.Gw ma suami kelekepan ama asap. Mata perih, tenggorokan gatal, hidung tersumbat (lho?! itu kan gejala influenza?) ehhehe...gak ding, kita cuman ngerasa mata perih dan susah napas doang :) . Daripada acara BBQ gagal total gara-gara asap, so secerdas Mc Gyver(bener gak spelling-nya?) gw langsung nyamber kacamata renang gw. Hehehe...berhasil! kita berdua berhasil menyelamatkan mata kita plus menyelamatkan acara BBQ kita. hihii....i never felt so clever like this before. Alakh....

Language Barrier


It's quite interesting when we are talking with 4 languages in 1 group of 5 persons. Ada pengalaman gw kedatangan temen gw. Dia asal dari Yanji,salah satu kota propinsi di Cina yang berbatasan langsung ama Korea Utara. She is Chinese but she talks in both languanges, Mandarin and Korean. (Mungkin daerah Cina yang berbatasan ama Rusia juga pake bahasa Rusia kali yak). Di daerahnya, orang-orang berbahasa Korea. Sementara Mandarin jadi bahasa kedua mereka. Di pasar pun, lebih banyak ditemukan makanan Korea dibanding makanan Cina. She came with her mom and her niece. Ibunya bisa sih bahasa Mandarin tapi katanya gak fasih.
So, we all ended up in my living room. Temen gw, sangat fasih bahasa Inggrisnya(sementara gw ama suami masih tertatih- tatih hahhahaa). So, kita bertiga ngobrolnya pake bahasa Inggris. Gw ama suami pake bahasa Mandarin buat ngobrol ama ibunya dan ponakannya. Sementara mereka sendiri berkomunikasi pake bahasa Korea. Those are 3!! Plus, 1 bahasa 'ibu' kita. Seru juga dalam 5 orang ngobrol pake 4 bahasa. Si ibu, berusaha berbahasa Cina dengan kita. Dia menceritakan sesuatu yang menarik. Kita pengen tahu lebih banyak tapi kita sendiri juga ribet mau nanya. Lah wong, mengerti ceritanya aja susah benerrr. Temen gw yang bantu terjemahin..Satu hal yang menarik dari ibu ini. Dia berasa dari keluarga seorang kepala agen rahasia Cina. Dan saat Jepang menyerang Cina, ayahnya menjadi korban penculikan oleh tentara Jepang.( hmm..i will tell you this story later coz this is out of my topic heheh).
Pengalaman lain, gw pernah satu kamar ama seorang ibu asal Jepang dan seorang wanita umur 30-an asal Cina. Si orang Jepang gak lancar bahasa Cina maupun Inggris. Si orang Cina gak bisa bahasa Inggris maupun Jepang. Dan gw, bisanya cuman bahasa Inggris tapi Cina dikit-dikit. So, three of us stucked in one room for 3 days. Bayangin aja gimana kita berkomunikasi. Bener-bener kocak abisss kalo gw inget inget. Si ibu Jepang berusaha banget ngomong pake bahsa Cina. Dan kocaknya, selama dia ngomong, dia sambil mencari-cari intonasi yang benar (karena bahasa Cina punya 4 intonasi kata yg berbeda, pun berbeda arti tiap nada..mampus..de). Jadi dia ngomongnya selalu gak komplit karena udah keburu ditebak ama yang orang Cina hehhehee... Mari bermain..TEBAK KATAA!! hehe..
Language is really a big problem for me recently. Sehari-hari gw terpaksa pake bahasa Mandarin ama temen-temen Cina gw. Secara struktur, bahasa Mandarin berbeda ama bahasa Inggris dan Indonesia. Kalo menurut gw, susunan kata dalam bahasa Cina tuh sebenernya simpel, sederhana, and lugas. Cuman dipersulit ama yang namanya intonasi, datar-meninggi-merendah-meliuk. Sementara bahasa Cantonese lebih ribet lagi dengan 9 (kalo gak salah itung) intonasi yang berbeda. Mampus kan gw!! Nah, dengan segala keribetan yang sebenernya sederhana, dan kesederhanaan yang sebenernya ribet itu, gw harus berpikir keras (!!) saat gw akan menyampaikan pesan yang ada di otak gw. Perlu beberapa detik (bahkan menit) untuk mengolah pesan yang ada di otak menjadi bahasa Mandarin YANG BISA DIMENGERTI. Ironisnya, sering kali bahasa Mandarin yang udah gw usahakan sejelas mungkin, tak jua dimengerti lawan bicara gw, KARENA INTONASI GW SALAH. huhhh...capeknya.
Another problem is with my English. Setidaknya gak seburuk bahasa Mandarin gw, tapi teuteup aja menyedihkan. Kalo ada temen-temen yang orang bule pade dateng neh, busyet, rasanya hampir gak pede buat ngomong ma mereka. Ternyata bahasa Inggris juga gak mudah. Seenggaknya gw mesti berpikir beberapa saat untuk ngucapin apa yang gw maksud. Masalahnya yang ini karena kosakata gw masih "20 halaman" kamus kale. Untungnya, temen gw bisa ngerti apa yang gw omongin walo strukturnya acak-acakan. hahakkakakaa...Jadi begitulah, Indonesia-Mandarin, Indonesia-Inggris,Mandarin-Inggris, berganti-gantian mengikuti situasinya.
Last but not least, i started complaining about my Bahasa. Gile, gw kadang-kadang lupa ama kata-kata bahasa Indonesia. Gw ngerasa bahasa Indonesia gw juga mengalami degradasi. Menjadi standar banget. Pernah suatu saat gw ngobrol ama suami, dan seketika itu juga gw lupa gw mesti ngomong apa karena gw gak bisa nemuin kata yang gw cari. Menyedihkan!!! Degradasi otak nih..