Wednesday, April 28, 2010

Jangan cari amanya aja!


Beberapa hari yang lalu saya sempat membaca sebuah artikel dalam Kolom Kompas yang mengulas tentang “The Architecting, Proses Berpikir yang Menyimpang”. Menurut si penulis, "The Architecting" dalam dunia arsitektur adalah kemampuan berkreasi dan mengembangkan suatu ide -ide segar untuk menciptakan sesuatu yang bahkan "mustahil" untuk diwujudkan, dan hambatan -hambatan yang muncul, justru akan membuat kita semakin andal karena akan menemukan solusi yang selama ini selalu tidak pernah dijumpai.
Jujur saja, saya belum pernah mendengar kata The Architecting. Yang saya tahu, sebuah kata kerja yang diberi akhiran –ing dalam bahasa Inggris artinya menjadi kata kerja tersebut sedang dilakukan atau sedang berlangsung. Tapi jika kata benda atau sebuah jabatan/posisi yang diberi imbuhan –ing dalam bahasa Inggris, setahu saya akan menjadi sebuah sebuah kegiatan yang berhubungan dengan sifat benda itu atau jabatan/posisi yang dimaksud. Saya tak ada niatan mengajar bahasa Inggris, hanya sekadar menjabarkan betapa saya baru tahu ada kata Architecting. Mungkin saya yang gak gaul hehe..
Saya tergelitik dengan tulisan di Kompas ini. Mengapa? Karena pembahasannya yang menurut saya menarik mengenai proses berpikir seorang arsitek. Jaman kuliah dulu sering dengar tentang teori Black Box. Dari beberapa referensi yang saya baca, secara garis besar konsep berpikirnya kurang lebih sama dengan yang dimaksud oleh si penulis The Architecting ini. Dalam suatu kasus, jika kita berpikir di dalam black box, kita tidak akan pernah tahu apa yang sedang terjadi. Secara harafiah, kalo kita masuk kedalam sebuah kotak hitam nan gelap tentu kita hanya bisa meraba, bukan? Tidak yakin, ragu-ragu, tidak jelas, langkah yang tersendat-sendat, segala ketidakmungkinan terjadi di dalam kotak hitam itu. Namun, jika kita berpikir diluar black box dan ingin melihat apa yang ada di dalam atau membayangkan keadaan di dalam black box tadi, all we have to do is TO TRY! Menciptakan sesuatu, berkreasi, terus menggali ide-ide, dan terus mencoba sesuatu yang berbeda untuk melewati kotak hitam itu. Sehingga dari hasil akhir yang kita dapat, kita menerima sebuah pengalaman dan mulai menemukan solusi-solusi atas hambatan-hambatan (seperti yang disebutkan oleh penulis The Architecting). Yang lebih penting lagi kita sudah bisa membaca situasi apa yang terjadi di dalam kotak hitam itu.
Realitanya, sebagian arsitek dalam proses penciptaannya menemukan banyak hal yang menghambat kreasinya. Dan hambatan-hambatan itu terkadang juga merupakan faktor yang tak bisa diabaikan, harus dipertimbangkan dan merupakan bagian dari karakter hasil ciptaan sang arsitek. Sebut saja faktor iklim, sosial budaya, kepercayaan, sumber daya alam dan manusia, kondisi finansial, maupun peraturan setempat. Benturan-benturan yang ada kadang tidak bisa diabaikan begitu saja. Ego seorang arsitek harus mau diturunkan beberapa level untuk mengimbangi keadaan tersebut. Di Cina, beberapa klien saya sangat fanatik pada feng shui. Kemana-mana ia selalu membawa meteran feng shui. Meteran ini berbeda dengan meteran biasa karena ada angka-angka yang diberi tanda merah yang berarti baik. Semua ukuran yang saya buat haruslah sesuai dengan feng shui. Semua angka berakhiran 4 dihindari. Walhasil, ada bagian-bagian dalam rumah yang tidak proposional dan tidak selaras satu dengan lainnya. Lagi-lagi ego saya harus diredam untuk menyelami keinginan klien.
Saya ingat semasa kuliah, saat saya ingin sok-sokan nyleneh membuat sebuah bangunan, dosen pembimbing selalu melontarkan pertanyaan mengenai struktur dan keselarasan dengan lingkungan sekitar. Lagi-lagi saya harus mengerem emosi jiwa muda yang selalu ingin membuat bangunan yang ‘mustahil’. Berpikir kembali, merombak sana-sini yang pada akhirnya bangunan saya menjadi sangat biasa (karena cari amannya saja). Dan kebetulan, mencari aman dalam mendesain, nampaknya selalu didoktrin oleh salah seorang dosen saya. Mencari desain yang aman dan yang umum disukai, memang menjadi favorit bagi sebagian arsitek yang tak mau repot, tak mau susah, dan tak mau menggali lebih dalam. Pola berpikir selalu’aman’ akan menghambat proses kreatifitas.
Seandainya saja arsitek memiliki kebebasan berkereasi tanpa batas seperti yang dialami arsitek-arsitek Jepang. Masing-masing disiplin ilmu melakukan tugasnya masing-masing untuk men-support kinerja arsitek. Sehingga sang arsitek memiliki otorita penuh (dan bebas) dalam berkreasi. *A*