Saturday, July 26, 2008

MALING GAK NGAKU MALING



Sebagai Kepala Studio, aku harus melaporkan semua kejadian di dalam ruang studio ke bagian Personalia. Sudah 6 bulan ini, ruang studio sering kehilangan barang-barang berharga. Mulai dari kamera digital abu-abu, card reader, mouse, memory card, memory stick USB, meteran, sampai penggaris segitiga andalanku. Semuanya raib satu demi satu. Tak seorang pun di dalam studioku yang melihat perbuatan pencuri itu. Tapi aku sebagai kepala studio tahu sekali bagaimana karakter 10 orang anak buahku ini. Aku punya alasan untuk ‘menuduh’ salah satu diantara mereka. Tapi tuduhanku tak ingin aku umbar di depan mereka. Cukup aku diskusikan dengan Bu Sita, manajer personalia.

“Rin, kamu sendiri tahu, sejak konsultan ini berdiri hingga bulan-bulan kemarin, kita tak pernah kehilangan apa-apa yang berharga. Kalaupun ada yang hilang, paling cuma pensil atau penghapus. Tapi kali ini, barang-barang yang tak murah, lho,” keluh Bu Sita kepadaku saat kami berdiskusi di ruangannya.
“Saya juga bingung, Bu,” timpalku. “Saya pikir, kehilangan kamera adalah kejadian yang pertama dan terakhir di ruang studio. Eh nyatanya berlanjut dengan kehilangan-kehilangan berikutnya.” Aku menatap Bu Sita dengan pandangan menyelidik, ingin tahu solusi Bu Sita kali ini apa.
Tampaknya ia menyadari bahwa dirinya sedang kupelototin. “Tidak…tidak, Rin. Kali ini aku tak punya ide lagi, kalau itu yang sedang kamu harapkan dariku.” Ah…Bu Sita ini payah. Aku datang ke ruanganmu ini, tak ada lagi yang aku harapkan selain otak Sherlock Holmes-mu. Ide-ide Bu Sita menanggulangi tindak kejahatan di kantor cukup jitu. Mulai dari sistem tanda tangan bagi siapa saja, kecuali aku tentunya, yang hendak keluar kantor. Sistem ini ampuh membasmi acara kabur-kaburannya anak-anak di tengah jam kantor. Sistem absen dengan mesin amano juga jitu membersihkan korupsi-korupsi waktu lembur. Untuk masalah kehilangan barang-barang pun, Bu Sita kerap melancarkan trik-trik Sherlock Holmes-nya. Suatu kasus kehilangan pun telah berhasil dipecahkan. Kasus itu adalah hilangnya kemoceng si Aji, office boy kantor kita. Kemoceng bagi Aji adalah alat yang paling vital untuk pekerjaannya. Tiga hari Aji tak pernah membersihkan perabot kantor. Akhirnya, dengan bantuan Bu Sita juga, kemoceng Aji berhasil ditemukan. Pelakunya pun terungkap. Joni, teman seprofesi Aji, memang sudah lama menaruh dendam kesumat padanya. Joni sengaja menyembunyikan kemoceng Aji di atas rak buku.
Sayangnya, trik mengatasi kehilangan barang-barang di ruang studio kali ini, belum juga berhasil dipecahkan. Padahal, Bu Sita telah melancarkan segala kemampuannya. Mulai dari kunci ruangan studio, duplikat kunci di setiap laci meja pegawai, tanda tangan setiap meminjam barang-barang untuk kegiatan di luar kantor, sampai mendata semua alat tulis kantor yang dipegang oleh setiap orang.

Tak mungkin kan aku tidak mengandalkan Bu Sita. Karena aku sendiri tak mau mengatasi masalah ini sendiri. Di kepalaku sudah banyak hal-hal yang harus aku pikirkan. Proyek rumah di Kemang, bulan depan sudah masuk pekerjaan finishing. Proyek rumah di Permata Hijau dan Kebayoran Baru, harus segera aku siapkan gambar presentasinya, belum lagi pekerjaan-pekerjaan desain lainnya yang sedang berjalan. Semuanya harus aku atur sebelum keberangkatanku ke Palembang untuk supervisi proyek gedung perkantoran.
“Bu Sita, kira-kira apa yang sebaiknya saya lakukan?” tanyaku dengan penekanan.
“Rin, aku tahu bagaimana kamu menghadapi 10 orang anak buahmu. Kamu juga mengenal pribadi mereka masing-masing. Dan aku rasa, kamu sudah punya prediksi siapa yang melakukan perbuatan ini, kan. Kamu bantu aku….”
“Bantu apa, Bu,” sahutku memotong perkataan Bu Sita yang belum selesai. Aku berharap, bantuanku tidak berupa uang yang harus aku tebus sebagai tanda tanggung jawabku sebagai kepala studio.
“Begini…Menurut kamu, siapa yang kamu duga melakukan pencurian ini. “
“Mmm…sebenarnya ada 1 orang tersangkanya.”
“Siapa?” tanya Bu Sita sambil mencondongkan badannya mendekatiku. Raut wajahnya tampak begitu penasaran. “Kita sudah banyak kehilangan barang berharga properti kantor. Saya tidak ingin ada kehilangan-kehilangan berikutnya. Jika memang orang yang kamu tuduhkan terbukti bersalah, ia harus segera meninggalkan kantor. Ayo, Rin, kamu utarakan saja pandanganmu.”
“Saya tidak ingin menuduh. Tapi saya melihat, gerak-gerik satu anak buah saya ini begitu mencurigakan…… Anton, Bu Sita,” kataku sambil memandang gerakan mata Bu Sita. Aku ingin tahu reaksinya. Aku yakin ia tak menyangka orang yang aku tuduhkan itu adalah Anton. Kenapa? Ya, karena Anton adalah orang yang sangat sigap dalam menangani masalah desain. Ia juga orang yang paling bisa diandalkan karena memang ia pandai dan cepat menangkap instruksi yang diberikan kepadanya. Orangnya pun mudah bergaul dan banyak yang menyukainya. Bu Sita pasti terkejut, orang yang begitu bersih di matanya, ternyata menjadi tersangka.
“Oh…Anton?...Apa alasannya?” manajerku ini menimpali pernyataanku tanpa ekspresi. Tak kaget sama sekali. Melenceng dari dugaanku.
“Saat saya berada di kantor, saya sering memperhatikan gerak-geriknya, Bu. Dibanding anak-anak yang lain, Anton sangat protektif terhadap barang-barang yang ada di atas mejanya, baik itu milik pribadinya ataupun milik kantor. Setiap ia akan meninggalkan meja, ia selalu mengunci laci mejanya. Aneh, kan? Apa yang sebenarnya ia sembunyikan di dalam laci? Sebegitu berharganya hingga ia selalu mengunci laci bahkan saat ia hanya pergi ke toilet. Bisa jadi ia menyembunyikan barang-barang curian itu di dalam laci. Makanya, ia tak ingin orang lain mengetahui apa isi lacinya. Selain itu, saya ingat, tepat sehari sebelum kamera kantor hilang, ia sudah memperingatkan saya supaya kamera itu harus disimpan baik-baik. Kalau tidak, kemungkinan hilang itu selalu ada. Betul saja, kamera itu raib sebelum sempat saya simpan dalam lemari terkunci. Begitu juga memory stick USB dan card reader yang baru saja dibeli kantor. Ia adalah orang terakhir yang memakainya sebelum barang itu hilang. Dan yang lebih hebatnya lagi, ia baru saja beli ponsel baru P900. Ponsel itu tak murah, Bu. Dan ia beli itu setelah beberapa barang kita hilang. Saya menduga, barang-barang curian itu dijualnya dan kemudian uangnya dibelikan ponsel baru. Saya juga mendapat informasi dari Lely bahwa ia sudah lama menginginkan ponsel P900. Menurut Lely, saat itu Anton sedang mengumpulkan dana untuk membeli ponsel impiannya. Saya bisa percaya Lely karena ia duduk bersebelahan dengan Anton, dan ia paling sering berbicara dengan si tersangka. Tapi semua itu hanya analisa dan dugaan saya, Bu. Selebihnya saya serahkan pada Bu Sita.”
Bu Sita mendengarkan penuturanku dengan seksama. Mungkin terlalu serius untuk ukuran menanggapi sebuah praduga tak bersalah. Ah…bagiku tetap saja ‘praduga pasti bersalah’. Aku sudah mencium gelagat buruk si Anton itu. Sebenarnya ia orang baik dan hebat, tapi aku tetap tak suka dengan perilakunya. Mungkin karena ia terlalu pandai hingga kadang tingkahnya aneh dan menyebalkan di mataku. Apalagi sejak semua kejadian kehilangan di kantor ini. Gerak-geriknya membuatku kesal dan makin curiga padanya.
“Oke. Saya mendengar semua alasanmu itu memang masuk akal dan logis. Masalahnya cuma satu, tak ada seorang pun yang melihat perbuatannya saat beraksi. Jadi alangkah baiknya jika Anton aku panggil kemari setelah…..”
“Bu! Tak ada seorang maling pun yang mengakui dirinya maling,” tangkasku
“Iya..iya..aku tahu. Tadi aku belum selesai bicara sudah kamu potong. Aku akan memanggilnya setelah kamu interogasi setiap anak buahmu. Kamu selidiki, kira-kira siapa dugaan terbesar dari anak buahmu. Dan kamu harus bersikap netral. Walaupun saat menginterogasi Anton, si tersangka. Dan kamu pelajari bagaimana menurut pendapat anak buahmu mengenai kejadian ini.”
“Oke, Bu. Tak masalah.”
“ Ingat! Kamu harus selesaikan acara interogasimu itu sebelum keberangkatanmu ke Palembang. Aku ingin Anton datang padaku juga sebelum kamu berangkat. Aku tak ingin sepeninggalmu, terjadi kehilangan lainnya. Apalagi kita baru beli 2 laptop baru. Secepatnya, orang yang melakukan semua ini harus diberhentikan. Oke, Rina?”
“Baik, Bu. Saya akan bergerak cepat.”

* * *

Menginterogasi 10 orang anak buahku bukan hal yang mudah. Perlu waktu 4 hari untuk menanyai satu per satu. Mengorek-korek isi kepala dan hati setiap anak di ruanganku. Aku jadi makin memahami karakter mereka. Mereka semua punya karakter yang spesifik. Andi, arsitek paling muda di kantorku. Jawaban-jawaban yang dilontarkan dari pertanyaanku sungguh menggelikan. Semua ditanggapinya dengan khayalannya sendiri. Menyangkutpautkan Joni dan Aji. Mereka mungkin gemas dengan perilaku anak-anak di ruang studio yang selalu menempelkan kotoran hidung di pinggiran meja. Hal itu membuat kedua office boy itu jijik. Tapi mereka tetap harus membersihkannya karena itulah resiko pekerjaan. Andi menduga, Aji dan Joni pasti menyembunyikan barang-barang yang hilang itu di suatu tempat, sampai anak-anak studio mau mengubah perilaku joroknya itu. Khayalan Andi tentu saja tak masuk perhitunganku.
Jenar, gadis mungil yang sering jadi bulan-bulanan di ruang studio. Dianggap adik bungsu karena kepolosannya dan keluguannya. Kepolosannya itu membuahkan kesulitan bagiku saat menginterogasinya. Belum selesai aku bertanya-tanya, ia sudah menangis sesenggukan.”Sungguh Mbak Rina, aku tuh gak tahu masalah-masalah begini…heks..heks.. Lagian kenapa mesti menuduh aku sih, Mbak..heks..hheks…Aku mau pinjam penghapus mbak saja pasti aku bakalan bilang-bilang…masak sih kepikiran mencuri...heks..hekss..” Aduh, aku menyerah deh menghadapi Jenar. Kapan sih aku melontarkan kata-kata tuduhan pada anak selugu Jenar ini.
Saat menginterogasi Anton, di dalam hatiku, semua jawabannya kutolak mentah-mentah. Semua tindakannya seperti mengunci laci dan menjaga setiap barang di mejanya, ia jelaskan sebagai alasan preventif. Ia bilang, ia harus lebih bertanggung jawab atas setiap barang yang dipercayakan kepadanya. Sumber dana ponsel P900 yang dibelinya tak terungkap. Ia hanya bilang barang itu dibeli dari hasil usahanya selama berbulan-bulan.
Tak masuk akal. Tak logis. Tak bisa meyakinkanku. Itulah jawaban yang kuperoleh darinya. Hal ini semakin menguatkan posisinya sebagai tersangka utama. Pemikiran dan dugaan sebagian besar anak buahku pun makin menguatkan tuduhanku. Setelah aku pancing-pancing dan aku paparkan fakta tentang Anton, rata-rata mereka pun menudingnya sebagai tersangka kasus pencurian di ruang studio.
Hasil interogasi aku laporkan ke Bu Sita. “Jadi begitulah kira-kira, Bu. Selanjutnya silahkan ibu pertimbangkan,” kataku mengakhiri paparan hasil interogasi.
“Oke, sekarang, panggil Anton kemari. Aku mau bicara empat mata dengannya. Karena besok sore kamu berangkat ke Palembang, malam ini aku akan jelaskan keputusanku padamu, Rin.”
Entah apa yang sedang Bu Sita dan Anton bicarakan saat di dalam ruangan tertutup itu. Yang aku tangkap hanyalah gambaran wajah Anton yang sedang geram. Aku meninggalkan ruang manajer personalia. Aku kembali masuk ke ruang studio untuk mengatur segala sesuatunya sebelum aku berangkat esok.
Tepat pukul 7 malam, Bu Sita memanggilku ke ruangannya.”Rina. Aku rasa kamu bisa bekerja dengan 9 orang lainnya di ruang studio, kan.” Hah?! Aku kaget mendengarnya. Apakah artinya Anton dipecat? Tapi aku memilih diam saja daripada mengomentari perkataan Bu Sita. “Anton mulai besok sudah tak bekerja di kantor kita. Jawaban Anton tak dapat dipegang. Dan ia tampak sangat temperamental. Aku tak tahu apakah itu suatu tindakan difensif atau apa. Ia membantah semua perkataanku. Lebih baik aku mempekerjakan orang yang jujur dan tidak berbelit-belit. Aku harap, masalah kehilangan barang di ruang studio selesai sampai disini.”

* * *

Jam 11 malam aku masih merapikan baju-baju yang akan aku bawa ke Palembang. Celana panjang krem harus aku bawa. Celana ini adalah celana wajib pakai saat aku di proyek. Sambil melipatnya, aku sesekali memandang barang-barang di atas meja belajarku. Kamera digital abu-abu, mouse, memory stick USB, card reader, meteran, dan penggaris segitiga andalanku. Tak ada rasa penyesalan di hatiku atas barang-barang itu semua. Yang ada hanya rasa lega, bahagia, dan menang karena Anton sudah berhasil aku singkirkan. Setelah 6 bulan aku cari cara untuk mendepak Anton dari ruang studioku. Ia terlalu cerdas dan terlalu pandai bergaul. Posisiku sebagai kepala studio akan terancam dengan keberadaannya. Aku sudah lama menjadi kepala studio di konsultan ini. Aku tak ingin Prinsipal Arsitek yang sekaligus pemilik biro konsultan ini melihat kemampuan Anton yang lebih daripada aku. Aku tak ingin ia menggantikan posisiku. Aku suka menjadi kepala studio saja. Entah sampai kapan. Aku ingin tetap menjadi seperti sekarang. Aku punya akses bebas keluar-masuk kantor tanpa surat ijin. Aku juga bebas memakai fasilitas kantor tanpa orang protes atau curiga padaku. Aku bisa jalan-jalan keliling Indonesia, gratis! Seperti besok aku akan pergi ke Palembang. Sudah lama aku ingin mencicipi empek-empek Palembang asli.Aku akan melakukan apa saja demi posisiku ini. Apapun! Walau orang menganggapku gila sekalipun. *